Bab I

150px-King_Chulalongkorn_as_Field_Marshal(Dikutip dari skripsiku pada Bab I)

Thailand di bawah Dinasti Chakri atau Dinasti Rama mengalami dinamika dalam melakukan hubungan dengan negara asing. Ketika diperintah oleh Raja Chulalok atau Rama I, Thailand melakukan politik isolasi terhadap pengaruh bangsa asing. Sebenarnya penerapan politik isolasi terhadap bangsa asing sudah terjadi sebelum masa Dinasti Chakri yaitu pada masa Raja Pra Petraja karena konflik di antara bangsa asing itu. Bangsa asing sudah masuk Thailand pada tahun 1602 ditandai dengan berdirinya kongsi dagang di Patani dan Ayuthia oleh Vereenigde Oos- Indische Compagnie ( VOC ). Selain Belanda, negara yang juga masuk ke Thailand antara lain Inggris dan Perancis. Setelah masuknya negara- negara itu ke Thailand maka terjadi konflik kepentingan di antara mereka. Akibatnya terjadi rasa anti terhadap bangsa asing dan memuncak pada masa Raja Pra Petraja yang mengharuskan Perancis harus pergi dari Thailand. Rasa anti terhadap bangsa asing terus terjadi sehingga pada masa Tammaraja II, Inggris dan Belanda harus meninggalkan Thailand untuk menghindari reaksi anti bangsa asing yang berkelanjutan.

Thailand di bawah pemerintahan Rama II masih menerapkan politik isolalsi terhadap bangsa asing. Kemudian pada masa pemerintahan Rama III atau Raja Nangklao, Thailand mulai memasuki masa transisi. Rama III melakukan penandatanganan perjanjian dengan Inggris pada tahun 1826 yaitu Burney Treaty. Isi dari perjanjian ini antara lain jaminan kebebasan bagi perdagangan Inggris, jaminan bagi Perak dari berbagai serangan serta pengakuan hak Sultan Perak untuk memerintah di wilayahnya. Meski demikian, Rama III tetap berhati- hati terhadap Inggris karena ada pertikaian dengan Inggris atas wilayah Melayu. Rama III berharap Inggris bisa membantu Siam[1] dalam menghadapi Burma.

Kerjasama antara Thailand dan Inggris semakin erat ketika Thailand diperintah Rama IV atau Raja Mongkut yang menggantikan Rama III pada tahun 1851. Hal ini dibuktikan dengan perjanjian pada tahun 1855 yaitu Perjanjian Bowring ( Bowring Treaty ). Berdasar isi perjanjian ini, Thailand memberi izin kepada Inggris untuk mengirimkan wakilnya ke Thailand. Selain itu, Thailand memberikan hak ekstrateritorial dan izin bagi Inggris untuk mengimpor opium. Kapal- kapal Inggris boleh masuk ke pelabuhan- pelabuhan Siam dan konsulat dapat didirikan di Bangkok jika jumlah perdagangan mencapai sepuluh kapal per- tahun. Lebih jauh John F. Cady menyatakan :

British ships should have access to all Siamese port, and a consulate could be established at Bangkok when the volume of trade reached ten ships a year. The treaty also provided for a single uniform duty on items for exports and a maximum 3 percents duty on imports.[2]

Rama IV menjalankan pemerintahan dengan cukup modern, kebiasaan- kebiasaan kolot yang lama ditinggalkan, misalnya cara berpakaian. Selain itu pertahanan kerajaan juga diperkuat dengan mencontoh militer negara Inggris. Dalam hal pendidikan pun sangat diperhatikan oleh Rama IV. Beliau mendidik puteranyaa dengan pendidikan barat, termasuk Pangeran Chulalongkorn yang menggantikan Rama IV. Mrs. Anna Leonowens adalah guru yang pertama kali memberikan pendidikan formal kepada Chulalongkorn dan terus memberikan pandangan mengenai pembaharuan yang diperlukan bagi Thailand.[3] Selanjutnya Chulalongkorn belajar kepada Robert Morant tetapi hanya berlangsung selama satu setengah tahun. Hal ini karena Chulalongkorn harus segera menggantikan ayahnya sebagai raja, yang telah meninggal akibat penyakit.

Chulalongkorn menggantikan ayahnya, Rama IV, pada tahun 1868. Waktu itu Chulalongkorn masih berumur 16 tahun sehingga tanggungjawab pemerintahan dipercayakan kepada Perwalian Somdet Chaophraya Sisuriyawong atau Chuang Bunnag sampai tahun 1873. Selama masa perwalian, Raja Chulalongkorn berkunjung ke berbagai wilayah seperti Singapura, Batavia, Penang, Burma dan Calcuta.

During this interim period, the young king made himself known ti his own people and to Asean neighbors. He stages formal state visits to Singapore, Batavia, and Semarang, in 1871 and made a subsequent journey to Penang, Burma, Calcutta, and overland to Delhi.[4]

Setelah lima tahun berada di bawah Perwalian Somdet Chaophraya Sisuriyawong maka Chulalongkorn dilantik menjadi raja pada tahun 1873. Menjelang pelantikannya yang kedua pada 1873, ketika berumur 20 tahun, Chulalongkorn memakai jubah kebesarannya untuk 14 hari dan diangkat seorang rahib di sebuah biara yang berada di sekitar tembok istana.[5]

Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja Chulalongkorn mengeluarkan berbagai kebijakan baik dalam bidang administrasi pemerintahan, ekonomi, sosial dan budaya, pendidikan serta militer. Dalam bidang administrasi pemerintahan, Raja Chulalongkorn membagi wilayah Thailand menjadi beberapa bagian. Pembagian ini terkait dengan masuknya wilayah- wilayah Melayu ke dalam wilayah Thailand.[6] Wilayah- wilayah Melayu ini terdiri dari Patani, Yala, Narathivat dan Satun. Keempat wiayah ini disatukan dalam satuan wilayah yang dinamakan Monthon Patani. Akibatnya di wilayah Thailand bagian selatan terjdi gerakan yang menentang pemerintah. Hal ini terutama karena ada kebijakan dari pemerintah yang berupa pencopotan kedudukan raja – raja Melayu tersebut. Kedudukan mereka digantikan oleh birokrat- birokrat yang dipilih secara resmi oleh Pemerintah Thailand.

Gerakan pertama yang menentang kebijakan Raja Chulalongkorn terjadi pada tahun 1903. Gerakan tersebut dokoordinasi oleh Raja Patani, Abdul Kadir Kamaoodin, yang menempuh sebuah strategi bercabang dua[7] yaitu memancing pemerintah untuk bertindak lebih tegas sehingga mencetuskan pemberontakan yang hebat, serta meminta bantuan pihak asing terutama Inggris.

Gerakan- gerakan di Thailand bagian selatan terus berlangsung dengan dipimpin para bangsawan yang didukung rakyat. Mereka meminta agar diberikan hak- hak istimewa berupa pembebasan dari pajak tahunan, pajak perorangan, memperoleh penghasilan dari pemerintah serta bebas wajib militer.

Gerakan yang terjadi di Thailand bagian selatan memang dilatarbelakangi berbagai faktor. Dalam bidang ekonomi, pemerintah Thailand menarik pajak untuk kas negara. Secara tradisi kaum bangsawan di Monthon Patani diwajibkan mengirim bunga mas, yaitu bunga hiasan yang terbuat dari emas dan perak sebagai upeti kepada Raja Thailand, setiap dua setengah tahun sekali.[8] Hal ini sangat merugikan bangsawan Melayu yang sudah tidak memiliki kedudukan lagi di wilayahnya sehingga sumber penghasilan mereka pun hilang. Pada akhirnya bangsawan melayu tidak lagi diwajibkan mengirim bunga mas, tetapi mereka dikenakan berbagai pajak.

Pemerintah Thailand juga mengeluarkan kebijakan di bidang sosial- budaya yaitu menghapus tradisis atau kebudayaan kolot yang telah lama berlaku. Kebudayaan yang dihapus misalnya praktek bersujud ketika rakyat menghadap raja atau bertemu raja. Pada masa ini, perbudaka juga dihapuskan. Chulalongkorn mendekritkan bahwa sejak tahun 1874 tidak ada perbudakan lagi.

Pemerintah tidak hanya memperhatikan masalah politik, sosial dan ekonomi. Bidang kebudayaan punn tidak lepas dari perhatian pemerintah, tidak terkecuali dalam hal pendidikan. Pemerintah menyadari bahwa pendidikan bisa mendukung program pembaharuan yang telah dicanangkan. Tahun 1891 Pangeran Damrong dikirim untuk mempelajari metode pendidikan di Eropa dan ketika dia kembali, di Thailand dibentuk Dewan Pendidikan Pemerintah.[9] Untuk menajukan pendidikan, pemerintah Thailand tidak segan- segan mencari staf pengajar dari luar negeri. Pangeran Damrong selam dua tahun mempunyai penasehat yang bernama J. G. D. Combell. Guru dari Inggris yang bekerja sebagai guru di Thailand misalnya Francis George Patterson. Sedangkan guru yang bekerja di Thailand dari Amerika antara lain Samuel G. McFarland, George Bradley McFarland serta John Eakin.

Usaha Thailand untuk menjamin pertahanan dan keamanan dalam negeri dari berbagai rongrongan yang mengganggu eksistensi negara adalah Raja Chulalongkorn mengeluarkan kebijakan yaitu melatih tentara dengan mencontoh militer Inggris. Kebijakan ini lebih dikenal dengan istilah wajib militer bagi rakyatnya. Sebenarnya usaha ini sudah dilakukan sejak pemerintahan Raja Mongkut ( Rama IV ). Selainitu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan berupa pendirian sekolah militer pada akhir tahun 1870 di Corps of Royal Pages. Pada awal pemerintahan Raja Chulalongkorn, jumlah rakyat yang tergabung dalam militer sudah cukup banyak. Lebih dari seribu pemuda tertampung dalam Corps of Royal Pages, jumlah yang cukup melimpah di istana pada awal pemerintahan Raja Chulalongkorn.[10] Pada tahun 1870 jumlah ini bertambah dengan masuknya saudara dan sepupu raja, sehingga dibentuklah sekolah militer.

Raja Chulalongkorn merupakan raja terbesar dari Dinasti Chakri. Meski mengalami kemajuan yang cukup pesat, bukan berarti Raja Chulalongkorn tidak mengalami hambatan selama memerintah Thailand. Hambatan yang dihadapi adalah kerusuhan daerah dan sengketa dengan Perancis. Kerusuhan daerah merupakan gerakan dari daerah patani dan sekitarnya yang mmenentang pembaharuan yang dicanangkan pemerintah Thailand. Orang- orang Melayu di wilayah tersebut memperuangkan identitas Melayu yang sudah lama melekat pada mereka. Sebenarnya, jika dilihat dari segi kebudayaan mereka termasuk rumpun Melayu, tetapi mereka terpaksa masuk ke dalam wilayah yang memiliki kebudayaan yang berbeda, akibat dari perjanjian antara Inggris dan Thaiand.

Secara kultural, mereka tergolong ke dalam buda Melayu, tetapi mereka tinggal di daerah yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kebangsaan bangsa Tai yang beragama Budha, berdasarkan perjanjian penentuan daerah kekuasaan antara Kerajaan Muangthai pada masa Raja Chulalongkorn atau Rama V dengan pemerintah Kolonial Inggris di Malaya tahun 1902.[11]

Menyikapi masalah kerusuhan ini, Raja Chulalongkorn menyatakan bahwa pemerintah harus menyadari keberadaan Islam sebagai agama rakyat di wilayah Patani dan sekitarnya. Meski demikian, para pejabat yang diangkat oleh pemerintah di wilayah ersebut tidk dapat menjalin hubungan baik dengan rakyat.

Selain menghadapi masalah di dalam negeri, pemerintah juga mengalami konflik dengan Perancis terkait dengan pertbatasan wilayah. Pada waktu itu Perancis yang telah menguasai Vietnam ingin menganeksasi 12 daerah kantong di Thailand karena daerah- daerah itu berada di bawah pengaruh Vietnam. Kemudian pada sekitar bulan Juni 1899 Perancis bermaksud memperluas perbatasan kerajaan Indo- China sampai Sungai Mekong. Hal ini tentu saja mengganggu perpolitikan Thailand karena Thailand pernah menundukkan Vietnam. Tahun 1827 pasukan Thailand di bawah P’ya Bodin telah menundukkan Vietnam karena mencoba memperjuangkan kemerdekaan.[12]


[1] Siam merupakan nama lama Thailand atau Muangthai. Perubahan nama Siam menjadi Thailand atau Muangthai terjadi pada bulan Juni tahun 1939, ketika Thailand berada di bawah pemerintahan Phibun Songgram. Orang- orang Siam pun lebih menyukai dan bangga negerinya disebut Thailand atau Muangthai yang artinya negara yang merdeka. Lihat DGE Hall. ( 1968 ). “ A History of South East Asia”. A. B. Soewsha. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya : Usaha Nasional, hlm. 757.

[2] John F. Cady. ( 1964 ). Southeast Asia : Its Historical Development. New York : McGraw- Hill Book Company, hlm. 345.

[3] DGE Hall. ( 1968 ). Op.cit., hlm. 648.

[4] John F. Cady. Op.cit., hlm. 488.

[5] Ibid.

[6] Masuknya wilayah- wilayah Melayu ke dalam pemerintahan Thailand berdasarkan Perjanjian Siam dengan Inggris yang disepakati pada tahun 1909. Berdasar perjanjian ini, Ingris memperoleh wilayah Kelantan, Kedah, Trengganu dan Perlis. Pembagian wilayah berdasar Perjanjian Siam- Inggris dapat dilihat dalam Lampiran 2.

[7] Surin Pitsuwan. ( 1988 ). Islam di Muangthai. Jakarta : LP3ES, hlm. 39.

[8] Ibid., hlm. 652.

[9] DGE Hall. Op.cit., hlm. 652.

[10] David K. Wyatt. ( 1969 ). The Politics of Reform in Thailand : Education in tha Reign of King Chulalongkorn. New Heaven dan London : Yale University Press, hlm. 66.

[11] Surin Pitsuwan. Op.cit., hlm. xxix.

[12] DGE Hall. Op.cit., hlm. 656.

Tinggalkan komentar